Selasa, 18 Januari 2011

Jalan - Jalna ke Pulau Dem Kecamatan Jabon Sidoarjo

Pulau Dem ini, meski dipisahkan sungai dan laut, masih berada di wilayah Dusun Pandansari, Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon. "Penduduknya hanya delapan kepala keluarga. Sekitar 30 jiwa. Dulu sembilan keluarga, tapi satunya pindah. Mereka semua bekerja sebagai penjaga tambak selama bertahun-tahun," jelas Kepala Dusun Pandansari Wariono. Delapan kepala keluarga itu masing-masing Subandi, Saliyem, Supeno, Slimin,
Sri Hariati, Misnatun, Munia, dan Priyatin.

Praktis, pulau seluas 500-600 hektare ini merupakan areal tambak udang dan bandeng. Tanaman-tanamannya pun khas vegetasi tambak. Tidak terlihat pohon-pohon besar, kecuali sejumlah tanaman baru hasil penghijauan. Tak ada jalan raya. Yang ada hanya jalan-jalan setapak di sela pematang-pematang tambak. Namun, ada beberapa sepeda motor dimanfaatkan penjaga tambak untuk membawa hasil tambak (bandeng dan udang) ke daratan sebelah.

"Di sini ayem, tenang, nggak ada mobil," kata Bu Is yang menetap di Pulau Dem bersama Supeno, suaminya, sejak 12 Desember 1989. "Saya masih sering ke Blitar, tapi sudah kerasan di sini. Pikiran lebih tenang. Apalagi, delapan anak saya sudah besar-besar semua."

Dibandingkan 20 tahun lalu, menurut Bu Is, keadaan pulau hasil endapan Kali Porong ini sudah jauh lebih ramai. Selain delapan gubuk yang kemudian menjadi rumah delapan kepala keluarga, ada lagi tujuh gubuk kosong yang dipakai pekerja tambak. Sebagian buruh tambak memang pergi-pulang Jabon-Pulau Dem setiap hari.

"Sekarang sudah banyak orang luar yang datang ke sini," kata Bu Is yang ramah ini.


SEKITAR 100 meter dari warung Bu Is, saya mampir ke rumah Saliyem (60). Dia penghuni paling lama Pulau Dem sejak 1970. "Waktu saya dan suami--sekarang nggak ada--ke sini belum ada tambak. Baru belakangan saja ada banyak tambak," ujar Saliyem. Keenam anaknya bahkan lahir di pulau ini.

Suasana di rumah Saliyem tampak sangat meriah karena hari itu sebagian besar wanita penduduk Pulau Dem berkumpul di rumahnya. Usai menyiapkan makanan untuk suami yang sibuk kerja di tambak, mereka bergurau dan bercerita ngalor-ngidul. Kehadiran kami secara mendadak tentu saja mengagetkan penduduk. Semua ingin mendengar langsung tujuan kami datang. "Titip pesan supaya kami dibantu air bersih dan puskesmas. Kalau sakit, kami sangat susah karena harus nyeberang jauh. Itu pun puskesmasnya masih bangunan thok," sela seorang wanita dengan gaya ceplas-ceplos.

Air bersih memang masalah serius di Pulau Dem. Sumur tidak ada karena airnya pasti sangat asin. Kadar garam sangat tinggi karena dikelilingi laut. Air yang di tambak membuat kulit gatal-gatal. Karena itu, Saliyem dan para penghuni lain harus membeli air bersih (jerikenan) di Jabon setiap dua hari. Air harus sangat dihemat, sehingga mereka pun terpaksa harus 'menghemat' mandi.

Jangan tanya soal hiburan karena hanya satu rumah yang dialiri listrik PLN sejak 2001. Yakni, rumah Sukari. Pria asal Kencong, Jember, yang datang pada 1973 dianggap paling mampu di Pulau Dem. Warga lain pun sebenarnya ditawari listrik. Namun, sebagai buruh tambak, mereka merasa tak mampu membayar abonemen Rp 110 ribu per bulan. "Uangnya dari mana? Untuk makan, minum, beli air saja susah," kata Saliyem.

Karena itu, setiap malam warga terpaksa menggunakan lampu minyak tanah. Dengan penerangan yang sekadarnya, anak-anak sekolah macam Muslimin, Bayu Hartanto, Nurhayati, Nurhalimah, dan Alfah belajar setiap hari. "Nggak masalah karena sudah biasa. Saya dan teman-teman bisa mengikuti pelajaran dengan baik," aku Muslimin.

Toh, Saliyem bisa menghibur sebagian warga Dem dengan televisi yang menggunakan aki (accu). Para tetangga datang untuk menonton televisi bersama-sama layaknya acara nonton bareng di kota. Tapi, karena daya aki sangat terbatas, mereka lagi-lagi harus sangat menghemat power aki itu. "Kita hanya lihat acara-acara yang bagus malam hari. Kalau siang-siang kayak sekarang, ya, jangan lihat televisi dulu," kata Saliyem.

Ketika ditanya apakah tidak ingin pindah ke Jabon atau daerah lain di Kabupaten Sidoarjo, atau ke kampung asal, Saliyem bersama 10 warga Dem yang 'menemani' saya kontan menolak. "Buat apa? Walaupun susah air, susah cari puskesmas, nggak ada listrik, hidup di Pulau Dem lebih tenang. Tinggal di kota itu terlalu banyak pikiran. Wong orang Jabon saja mau tinggal di sini," tandas Saliyem menunjuk menantunya yang berasal dari luar Pulau Dem.